Ada satu moment dalam hidup ketika aku merasa jauh dari semuanya. Jauh dari orang lain, jauh dari diriku sendiri. Dalam fase itu, aku menemukan bahwa tidak semua kesepian butuh diisi oleh suara manusia. Kadang, yang aku butuhkan justru keheningan yang mengizinkan aku memahami apa yang sedang terjadi di dalam hati.
Buku tidak menawarkan solusi cepat. Ia tidak mencoba memperbaiki luka yang belum siap kusentuh. Ia hanya menemaniku, membiarkan aku duduk di sampingnya dan membiarkanku larut dalam bacaan tersebut meski hanya beberapa halaman, atau bahkan ketika aku hanya memegangnya saja tanpa membaca. Itu sudah cukup. Dan ia tidak pernah protes disana.
Aku suka bagaimana buku tidak pernah mengharapkan versi terbaikku. Ia tidak mengeluh saat aku membacanya setengah-setengah, atau saat aku menutupnya tiba-tiba karena dadaku terasa sesak oleh sesuatu yang tidak bisa kugambarkan. Buku tahu kalau manusia itu sering berubah-ubah, dan itu wajar.
Di antara kata-katanya, aku sering menemukan cermin kecil yang tidak pernah memaksa, tapi perlahan menunjukkan apa yang aku takut akui. Tentang hal-hal yang melelahkan, tentang kehilangan yang lama kubiarkan mengendap, tentang harapan kecil yang ternyata masih hidup meski aku hampir melupakannya.
Yang membuat buku terasa seperti teman adalah kesetiaan dan kejujurannya. Buku tidak akan pernah pura-pura memahami, dia juga disana tidak benar-benar membiarkan aku sendirian. Ia tidak menyuruhku buru-buru untuk cepat pulih, tapi justru ia memapahku pada pengertian-pengertian kecil yang akhirnya membangunkan sebuah keberanian baru.Aku sempat berpikir disana, mungkin itulah mengapa aku selalu kembali pada buku setiap kali dunia terasa berat. Karena buku tidak menuntut apa pun, mereka tidak mendesak, tidak pernah menghakimi. Ia hanya membuka dirinya, lalu membiarkanku begitu saja untuk bisa menemukan sesuatu yang hilang dari diriku sendiri.
Dan pada hari-hari ketika aku tidak punya siapa pun untuk bercerita, buku hadir seperti rumah yang siap menaungku kapan pun. Tidak peduli seberapa hancurnya aku saat datang, buku tetap menerima. Dia tidak pernah bertanya kenapa aku kembali terlambat, dan tidak pernah menuntut sebuah penjelasan apa pun.Buku mengingatkanku bahwa proses memahami diri tidak harus terburu-buru. Bahwa ada tempat di mana aku boleh istirahat, boleh lemah, dan tetap dianggap utuh.
Dan itu cukup membuatku bertahan sedikit lebih lama lagi.

Buku memang teman yang setia, sayangnya kita (manusia) yang pelupa. Kalau lama nggak dibaca, kita seringkali perlu mengulang dari awal ðŸ˜
BalasHapuswkwkw ini real bangett, saking lamanya gak dibuka seketika ngefreez (alis lupa lagi ini buku bahas apa) kadang pelaku juga aku punðŸ˜
HapusPosting Komentar